14 Desember 2022

Mengenal Difteri pada Anak, dari Penyebab, Gejala, Risiko, dan Pencegahannya!

Difteri terkadang masih menyerang anak-anak di Indonesia
Mengenal Difteri pada Anak, dari Penyebab, Gejala, Risiko, dan Pencegahannya!

Pada tiga tahun terakhir, Kementerian Kesehatan Indonesia menetapkan sekitar 28 provinsi sebagai tempat penyebaran wabah difteri dengan status Kejadian Luar Biasa.

Oleh karena itu, orang tua perlu mengetahui difteri pada anak lebih lanjut.

Pasalnya, wabah tersebut mengakibatkan adanya sekitar 600 kasus pasien dengan 30 lebih pasien meninggal, baik dewasa ataupun anak-anak.

Merebaknya  kasus ini, menimbulkan beberapa pertanyaan bagi klinisi yang harus dikaji mengapa hal tersebut dapat terjadi.

Dikutip dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), KLB ini disebabkan beberapa faktor yaitu cakupan imunisasi yang gagal mencapai target dan imunisasi yang gagal membentuk antibodi secara maksimal pada anak.

Selain itu, Jurnal Berkala Epidemiologi Unair tahun 2018 juga menyebutkan bahwa South-East Asia Region setiap tahunnya menempati urutan pertama kasus difteri di dunia.

Indonesia merupakan negara dengan kasus insiden terbanyak kedua dibandingkan India.

Mengingat kondisi ini juga sering terjadi pada anak-anak, penting bagi Moms untuk tahu apa itu difteri para anak, penyebab, risiko, dan cara menjaga Si Kecil agar terhindar dari penyakit tersebut.

Baca Juga: 7+ Panduan Isolasi Mandiri untuk Anak dengan COVID-19 dari IDAI, Catat!

Mengenal Difteri pada Anak

Ilustrasi Difteri pada Anak
Foto: Ilustrasi Difteri pada Anak

Difteri merupakan penyakit anak yang umum di tahun 1930-an dan merupakan infeksi bakteri yang mudah menyebar dan terjadi dengan cepat.

Penyakit bakteri akut ini dapat menginfeksi tenggorokan (difteri pernapasan) atau kulit (difteri kulit).

Hal ini senada dengan penjelasan dr. Hadianti Adlani, Sp.PD-KPTI, Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Penyakit Tropik & Infeksi, RS Pondok Indah, Bintaro Jaya.

"Difteri merupakan penyakit infeksi akut yang utamanya menyerang tonsil, faring, laring, hidung, dan selaput lendir atau kulit, serta dapat menyerang konjungtiva pada mata ataupun vagina.

Tetapi, kasus difteri yang lebih banyak terjadi adalah infeksi akut yang menyerang saluran pernapasan atas," jelas dr. Hadianti kepada Orami.

Kondisi ini umumnya mudah menjangkit anak-anak di bawah 5 tahun.

Anak-anak yang tinggal dalam kondisi sesak atau tidak bersih, kurang gizi, dan tidak diimunisasi sejak dini, juga berisiko lebih tinggi.

Masalah kesehatan ini sangat jarang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa karena pejabat kesehatan telah memberikan imunisasi kepada anak-anak selama beberapa dekade.

Namun, hal ini masih umum terjadi di negara berkembang karena imunisasi tidak diberikan secara rutin.

Kondisi ini dapat diobati dengan obat-obatan. Namun, pada stadium lanjut, bisa merusak jantung, ginjal, dan sistem saraf.

Meski dengan pengobatan, difteri pada anak juga bisa mematikan.

Namun, saat ini sudah jarang terjadi karena kampanye dan penggunaan vaksin pada anak-anak mulai dilakukan secara massal.

Dikutip dari Boston Children Hospital, terdapat 2 jenis difteri yaitu:

1. Difteri Pernapasan

Difteri pernapasan adalah kondisi ketika bakteri berkembang biak di tenggorokan.

Selaput dapat terbentuk di atas tenggorokan dan amandel sehingga menyebabkan sakit tenggorokan, sesak napas, dan bahkan melepaskan racun ke dalam darah sehingga sehingga menyebabkan gagal jantung.

2. Difteri Kulit

Difteri kulit berupa infeksi ringan yang gejalanya biasanya lebih ringan dari pernapasan. Difteri kulit tampak seperti bintik kuning atau luka pada kulit.

Baca Juga: Mengenal Bronkitis, Penyakit Menular yang Menyerang Saluran Pernapasan, Waspada!

Penyebab Difteri pada Anak

Ilustrasi Anak Menangis
Foto: Ilustrasi Anak Menangis (Orami Photo Stocks)

Difteri pada anak disebabkan oleh infeksi bakteri. Bakteri ini biasanya berkembang biak di atau dekat permukaan tenggorokan.

"Penyakit difteri yang banyak ditemukan di masyarakat umumnya disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae strain toksin," tambah dr. Hadianti.

Mayo Clinic menyebutkan bahwa kondisi ini bisa menyebar melalui 2 cara, yaitu:

1. Airbone Droplets

Saat orang yang terinfeksi bersin atau batuk mengeluarkan kabut tetesan yang terkontaminasi, orang di sekitar dapat menghirup.

Terlebih ketika kondisi ramai, Corynebacterium diphtheriae akan sangat mudah menyebar.

2. Barang Pribadi atau Mainan yang Terjangkit

Anak-anak terkadang bisa terjangkit karena memegang mainan milik anak lain atau main bersama anak lain yang terinfeksi.

Mainan anak lain di rumah atau barang-barang lainnya mungkin terkontaminasi bakteri tersebut.

Anak Moms juga dapat memindahkan bakteri ini dengan menyentuh luka anak lain yang terinfeksi.

Anak yang telah terinfeksi oleh bakteri dan belum diobati, dapat menginfeksi orang yang belum mendapatkan vaksin difteri.

Ini dapat terjadi bahkan ketika anak yang sakit atau menularkan tidak menunjukkan gejala apa pun.

Baca Juga: Pneumonia Bayi: Penyebab, Gejala, Hingga Pengobatannya

Kebiasaan yang Bisa Mengakibatkan Difteri

Ada banyak faktor yang meningkatkan risiko seseorang terkena masalah kesehatan ini, yaitu:

  • Lokasi tempat tinggal yang padat penduduk atau tidak higienis
  • Tidak pernah mendapat vaksinasi, baik melalui program pemerintah maupun program vaksinasi lainnya
  • Memiliki gangguan sistem imun seperti penyakit AIDS
  • Memiliki kondisi sistem imun yang lemah, terutama pada anak-anak atau orang tua
  • Pemakaian peralatan pribadi seperti alat makan atau alat mandi secara bersama-sama

"Penularan terjadi melalui droplet (percikan ludah) dari batuk, bersin, muntah, melalui alat makan, atau kontak langsung dari lesi di kulit," kata dr. Hadianti.

Perbedaan Difteri Biasa dengan Tonsilitis Difteri

Tonsilitis Difteri
Foto: Tonsilitis Difteri (Indonesiare.co.id)

Menurut dr. Hadianti kondisi ini dibagi menjadi 2 jenis, yaitu difteri tipe respirasi dan difteri tipe kutan atau kulit.

"Difteri faucial atau tonsilitis difteri merupakan bentuk paling umum dan kasus yang paling banyak ditemukan.

Tonsilitis difteri adalah salah satu bentuk penyakit yang lokasinya terjadi di area tonsil dan faring," papar dr. Hadianti.

Tanda dan gejala difteri tipe respirasi adalah:

  • Infeksi saluran pernapasan akut di bagian atas
  • Adanya nyeri tenggorokan
  • Nyeri menelan
  • Demam tidak tinggi (kurang dari 38,5 derajat celsius)
  • Ditemui adanya pseudomembran putih/keabu-abuan/kehitaman di tonsil, faring, atau laring yang tak mudah lepas, serta berdarah apabila diangkat.

Sementara itu, tipe kutan menyerang kulit dengan gejala yang ringan disertai peradangan yang tidak khas dan sulit untuk dikenali sehingga seringkali tidak masuk dalam catatan kasus maupun program penanggulangan.

Nah, meskipun kondisi ini dibagi menjadi 2, penyebabnya tetap sama, ya Moms yaitu oleh bakteri.

Baik bakteri Corynebacterium diphtheriae atau Corynebacterium ulcerans.

"Di mana pun lokasi yang ditemukannya difteri umumnya disebabkan oleh dua jenis bakteri, yaitu Corynebacterium diphtheriae dan Corynebacterium ulcerans," kata dr. Hadianti.

Cara penularannya dapat disebabkan oleh 2 hal, yaitu tertular bakteri dari orang lain dan pembawa sifat difteri (carrier).

Carrier difteri adalah seseorang yang sehat, tidak mengalami gejala penyakit difteri, tetapi hasil tes swab hidung menunjukkan positif adanya kuman difteri.

Pada daerah endemis, 3–5 persen orang sehat membawa kuman difteri toksigenik.

Bahaya Bakteri Corynebacterium

Corynebacterium
Foto: Corynebacterium (Microbewiki.kenyon.edu)

Menurut dr. Hadianti, manusia adalah satu-satunya perantara hidup dari bakteri Corynebacterium diptheriae.

Penyakit ini bisa menyerang individu mulai dari yang berusia muda hingga berusia lanjut dan dapat menimbulkan infeksi serius yang berpotensi mengancam jiwa.

Bakteri C. diphtheriae bersifat toxin-mediated disease yang artinya adalah tanda dan gejala yang timbul pada penyakit diakibatkan oleh toksin yang dihasilkan dari bakteri ini.

Toksin ini dapat menyebar melalui darah dan dapat menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.

Hal ini diakibatkan oleh toksin difteri, yaitu miokarditis, neuritis, trombositopenia, dan proteinuria.

Penyakit yang disebabkan oleh toksin difteri sudah menjadi lebih berat jika penderitanya merasakan:

  • Kesulitan menelan
  • Sesak napas
  • Stridor
  • Pembengkakan leher yang tampak seperti leher sapi (bullneck), bahkan hingga menimbulkan bahaya kematian.

Hal ini biasanya terjadi karena obstruksi atau sumbatan jalan napas, kerusakan otot jantung, serta kelainan susunan saraf pusat dan ginjal.

Gejala Difteri pada Anak

Ilustrasi Radang Tenggorokan
Foto: Ilustrasi Radang Tenggorokan

Moms harus hati-hati karena pada tahap awal, kondisi ini bisa disalahartikan sebagai sakit tenggorokan yang parah.

Demam ringan dan kelenjar leher bengkak adalah gejala awal difteri pada anak.

Racun yang disebabkan oleh bakteri dapat menyebabkan lapisan tebal (selaput) di hidung, tenggorokan, atau saluran napas.

Hal ini yang membuat infeksi difteri berbeda dari infeksi lain yang lebih umum dan juga menyebabkan sakit tenggorokan, misalnya radang tenggorokan.

Lapisan ini biasanya berwarna abu-abu kabur atau hitam dan dapat menyebabkan gangguan pernapasan dan kesulitan menelan.

Saat infeksi difteri pada anak berlanjut, seseorang mungkin:

  • Mengalami kesulitan bernapas atau menelan
  • Mengeluh penglihatan ganda
  • Berbicara cadel
  • Bahkan menunjukkan tanda-tanda syok (kulit pucat dan dingin, detak jantung cepat, berkeringat, dan penampilan cemas)

Dalam kasus yang perkembangannya lebih parah dari infeksi tenggorokan, toksin difteri menyebar melalui aliran darah dan dapat menyebabkan komplikasi yang berpotensi mengancam nyawa yang memengaruhi organ lain, seperti jantung dan ginjal.

Racun dapat menyebabkan kerusakan pada jantung dan memengaruhi kemampuannya untuk memompa darah serta memengaruhi kemampuan ginjal untuk membersihkan limbah.

Dikutip dari Kids Health, bakteri ini rupanya juga dapat menyebabkan kerusakan saraf pada anak, yang akhirnya menyebabkan kelumpuhan.

Sebanyak 40% hingga 50% dari mereka yang tidak dirawat, memiliki kemungkinan untuk meninggal karena tidak mendapatkan perawatan yang tetap.

Baca Juga: 9 Tips Memberikan Makanan untuk Anak Diare, Simak di Sini!

Pengobatan Difteri

Ilustrasi Pengobatan Difteri
Foto: Ilustrasi Pengobatan Difteri

Anak-anak dan orang dewasa yang didiagnosis penyakit ini perlu dirawat di rumah sakit.

Setelah dokter memastikan diagnosis melalui kultur tenggorokan, orang yang terinfeksi biasanya akan mendapat antitoksin khusus yang diberikan melalui suntikan atau infus.

Itu untuk menetralkan racun yang sudah beredar di tubuh ditambah antibiotik untuk membunuh bakteri yang tersisa.

Pasien dengan infeksi lanjutan juga mungkin memerlukan ventilator untuk membantu mereka bernapas.

Jika racun mungkin telah menyebar ke jantung, ginjal, atau sistem saraf pusat, pasien mungkin memerlukan cairan intravena, oksigen, atau obat jantung.

Seseorang dengan difteri harus diisolasi untuk mencegah penularan. Anggota keluarga dan kontak dekat lainnya yang belum diimunisasi, atau yang masih sangat muda atau tua, harus dilindungi dari kontak dengan pasien.

Perlu Moms ketahui, difteri pada anak mudah menular dari orang yang terinfeksi ke orang lain melalui bersin, batuk, atau bahkan tertawa.

Ini juga dapat menyebar melalui barang-barang yang digunakan oleh orang yang terinfeksi.

Orang yang terinfeksi bakteri ini, bahkan jika mereka tidak memiliki gejala apa pun, dapat menginfeksi orang lain hingga 4 minggu.

Masa inkubasi (waktu yang dibutuhkan seseorang untuk terinfeksi setelah terpapar) adalah 2 hingga 4 hari, meskipun dapat berkisar antara 1 hingga 6 hari.

Ketika seseorang didiagnosis menderita difteri, dokter akan memberi tahu departemen kesehatan setempat dan merawat semua orang di rumah yang mungkin terpapar bakteri tersebut.

Perawatan termasuk kultur tenggorokan dan dosis booster vaksin. Mereka juga akan mendapatkan antibiotik sebagai tindakan pencegahan.

Dengan perawatan yang cepat di rumah sakit, kebanyakan pasien bisa sembuh.

Setelah antibiotik dan antitoksin bekerja, mereka perlu istirahat di tempat tidur untuk sementara waktu, sekitar 4-6 minggu atau sampai sembuh total.

Istirahat di tempat tidur sangat penting jika seseorang mengalami miokarditis (radang otot jantung), yang dapat menjadi komplikasi.

Selain itu, pasien yang telah menyelesaikan pengobatan lengkap akan melakukan tes dengan dokter untuk memastikan bakteri tidak ada lagi di tubuh pasien.

Setelah sembuh, penderita difteri tetap harus mendapatkan semua suntikan vaksin difteri untuk melindungi mereka dari infeksi di lain waktu.

Pasalnya, seseorang yang pernah menderita penyakit difteri tidak menjamin mereka memiliki kekebalan terhadap difteri.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Pusat Pengendalian dan Pencegah Penyakit Amerika Serikat (CDC), meski dengan pengobatan, sekitar 1 dari 10 orang yang menderita difteri pernapasan akan meninggal.

Baca Juga: Demam Kelenjar Pada Anak: Gejala, Penyebab, dan Pengobatannya

Komplikasi Akibat Difteri pada Anak

Ilustrasi Anak Tidur
Foto: Ilustrasi Anak Tidur

Jika kondisi ini tidak diobati, penyakit ini dapat menyebabkan beberapa komplikasi yang bisa memperburuk kondisi medis mereka, antara lain:

1. Masalah Pernapasan

Bakteri ini bisa menghasilkan racun. Racun ini merusak jaringan di area infeksi yang biasanya terjadi di hidung dan tenggorokan.

Di tempat itu, infeksi menghasilkan membran keras berwarna abu-abu yang terdiri dari sel-sel mati, bakteri, dan zat lain. Akhirnya, membran tersebut dapat menghalangi jalannya pernapasan.

2. Kerusakan Jantung

Toksin difteri bisa menyebar melalui aliran darah dan merusak jaringan lain di tubuh Si Kecil yang terserang difteri.

Misalnya, merusak otot jantung dan lalu menyebabkan komplikasi seperti radang otot jantung (miokarditis).

Kerusakan jantung akibat miokarditis mungkin terjadi dalam tingkat ringan atau parah.

Pada kondisi paling parah, miokarditis dapat menyebabkan gagal jantung kongestif dan kematian mendadak.

3. Kerusakan Saraf

Toksin difteri pada anak rupanya juga dapat menyebabkan kerusakan saraf.

Target tipikal dari pengrusakan ini adalah saraf ke tenggorokan, di mana konduksi saraf yang buruk dapat menyebabkan kesulitan menelan.

Saraf pada lengan dan tungkai juga bisa meradang dan menyebabkan kelemahan otot.

Jika toksin ini merusak saraf yang membantu mengontrol otot yang digunakan untuk bernapas, otot ini dapat menjadi lumpuh.

Pada saat itu, Si Kecil mungkin membutuhkan bantuan mekanis untuk bernapas.

Dengan pengobatan, kebanyakan penderita difteri dapat bertahan hidup dari komplikasi ini, meskipun pemulihannya seringkali cukup lambat.

Menurut data WHO, 5%-10% kasus difteri dapat berakibat fatal dan tingkat kematian yang lebih tinggi terjadi pada anak-anak.

Baca Juga: Mengupas Fakta dan Mitos Penyakit Cacar Air yang Banyak Beredar

Cara Mengatasi dan Mencegah Difteri pada Anak

Pencegahan Difteri dengan Vaksinasi.jpg
Foto: Pencegahan Difteri dengan Vaksinasi.jpg

Sebagian besar kasus pada anak, biasanya yang belum menerima vaksin sama sekali.

Hal ini karena pencegahan difteri hampir sepenuhnya bergantung pada pemberian vaksin difteri/tetanus/pertusis kepada anak-anak (DTaP) dan penyakit difteri masih ada di negara-negara terbelakang sehingga vaksin tetap diperlukan.

Vaksin DTaP merupakan vaksin yang lebih baru dan kecil kemungkinannya menyebabkan reaksi dibandingkan jenis yang diberikan sebelumnya.

DTaP diberikan pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, 15 sampai 18 bulan, 4 sampai 6 tahun, dan 11 sampai 12 tahun, lalu booster setiap 10 tahun setelahnya.

Beberapa anak tidak boleh mendapatkan vaksin DTaP, atau harus mendapatkannya nanti. Misalnya:

  • Anak-anak yang sebelumnya mengalami reaksi sedang atau serius setelah divaksinasi
  • Anak-anak yang sebelumnya mengalami kejang atau memiliki orang tua atau saudara kandung yang mengalami kejang
  • Anak-anak yang memiliki masalah otak yang kondisinya kurang baik
  • Anak-anak yang sedang menderita penyakit sedang atau berat.

Selain dengan vaksin, orang tua juga bisa mencegah penyakit ini pada anak-anak dengan cara menghindari mobilitas ke daerah-daerah yang memiliki kasus tinggi dan memperbaiki gizi anak.

Karena berdasarkan penelitian yang diterbitkan oleh F1000Research, mobilitas anak atau orang tua merupakan faktor risiko utama penyakit ini.

Itulah informasi lengkap mengenai penyakit difteri yang dapat menjangkiti anak. Semoga informasinya bermanfaat ya, Moms.

  • https://www.healthline.com/health/diphtheria
  • https://kidshealth.org/en/parents/diphtheria.html
  • https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://e-journal.unair.ac.id/JBE/article/download/8184/5374&ved=2ahUKEwiJ3frCr6_rAhV66XMBHTnQBoYQFjANegQIChAB&usg=AOvVaw0s9uih6g_redisyjYt67Mg
  • https://www.idai.or.id/about-idai/idai-statement/pendapat-ikatan-dokter-anak-indonesia-kejadian-luar-biasa-difteri
  • https://www.cdc.gov/diphtheria/about/diagnosis-treatment.html
  • https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/diphtheria/symptoms-causes/syc-20351897
  • https://f1000research.com/articles/7-1625
  • http://www.childrenshospital.org/conditions-and-treatments/conditions/d/diphtheria/symptoms-and-causes

Konten di bawah ini disajikan oleh advertiser.
Tim Redaksi Orami tidak terlibat dalam materi konten ini.


FOLLOW US

facebook
twitter
instagram
spotify
tiktok

Orami Articles — Artikel Seputar Parenting, Kesehatan,
Gaya Hidup dan Hiburan

Copyright © 2024 Orami. All rights reserved.

rbb