25 Desember 2017

Mengharukan, Kisah Penyesalan Terdalam Seorang Ibu pada Anaknya Selama 22 Tahun di Malam Natal

Kata-kata kasarnya menyisakan luka di batin sang anak
Mengharukan, Kisah Penyesalan Terdalam Seorang Ibu pada Anaknya Selama 22 Tahun di Malam Natal

Sebagai orang tua sepatutnya kita tak boleh mengeluarkan kata-kata kasar yang dapat menyakiti hati Si Kecil. Sebab sekesal apapun itu, tanpa disadari perkataan Moms akan membekas meninggalkan luka di hati anak hingga bertahun-tahun lamanya. Dan tak jarang penyesalan terdalam juga Moms alami setelahnya.

Baca Juga : Benarkah Membentak Anak dapat Memutus Sel Otaknya? Bagaimana Jika Terlanjur Membentak?

Seperti kisah Natal yang dialami anak bernama John William Smith.

Dilansir dari The Epoch Times, kisah yang terjadi pada tahun 1949 silam ini menceritakan bocah yang tumbuh dalam kehidupan serba kekurangan. Setiap harinya, ia bertugas mengantarkan surat dari satu rumah ke rumah lainnya.

Tak jarang karena kondisi keuangan yang buruk, keluarganya dipenuh rasa stres dan amarah. Kedua orangtuanya pun begitu mudah tersinggung.

Tapi, selayaknya anak-anak, menjelang Natal, Smith berpikir jika di rumahnya ada pohon Natal yang bisa dihias bersama, mungkin keadaan keluarganya jadi lebih baik.

Ia pun bekerja lebih keras dan tak disangka ada seorang pelanggan yang membayarnya lebih. Dengan jumlah uang yang lebih dari cukup itu, Smith lalu membeli pohon Natal yang dijual di pinggir jalan.

Sambil berjalan pulang berkilo-kilo jaraknya, Smith membawa pohon Natal itu dengan hati-hati. Ia sangat berharap orang tua dan kakak-kakaknya akan gembira menyambut hadiah yang ia bawa di malam Natal.

Tiba di rumah, reaksi keluarga ternyata sungguh di luar dugaan. Sang ibu begitu marah dan mengucapkan kata-kata menyakitkan. “Betapa bodohnya kamu menghabiskan uang untuk pohon bisu yang akan dibuang dan dibakar dalam beberapa hari ini.”

Sang ibu menganggap daripada membeli pohon, lebih baik uang itu Smith gunakan untuk kebutuhan keluarga yang lebih penting. Seolah belum cukup, Smith juga dikatai bodoh seperti sang ayah.

Tentu Smith kaget bukan kepalang. Ia tak pernah diteriaki dengan makian kasar seperti itu sebelumnya. Ia pun hanya bisa menangis dan menganggap itulah Natal terburuk yang pernah ia alami.

Meski kemudian Sang Ayah menghiburnya dengan mengajaknya menghias pohon Natal itu bersama-sama, kebahagiaan di malam Natal itu tak lagi sama bagi Smith.

Waktu terus berjalan. Berpuluh tahun berselang, sang ayah meninggal dunia. Sang ibu pun kini telah dikaruniai cucu dari putra-putrinya. Smith sebenarnya tak pernah melupakan Natal terburuknya di tahun 1949 tersebut, namun tak seorang pun di keluarganya yang pernah mengungkitnya kembali. Ia pun hanya diam.

Hingga di malam Natal berikutnya di tahun 1971, Smith yang telah dewasa sedang bersama sang ibu di dapur. Smith tak bisa tidur, sementara Sang Ibu sedang membuat secangkir teh panas.

Mereka berbicara tentang betapa bahagianya bisa berkumpul bersama merayakan Natal. Mereka juga berharap Sang Ayah bisa melihat cucu-cucunya dan menghabiskan waktu Natal bersama mereka.

Dalam pembicaran tersebut, Sang Ibu tiba-tiba memulai pembicaraan tentang kejadian 22 tahun silam dimana Smith membeli pohon Natal dari hasil jerih payahnya sendiri.

Ibunya mengakui bahwa apa yang dia katakan malam itu telah menjadi beban di hatinya selama puluhan tahun. Betapa menyesalnya ia atas kata-kata kasar yang ia ucapkan pada Smith. Sang Ibu juga menyesali setiap perdebatan hanya karena uang yang berujung menyakiti hati anaknya. Ia hanya berharap suatu saat Smith dapat mengerti.

Dengan beban yang dipikulnya sendiri, Sang Ibu juga bercerita betapa keadaan ekonomi keluarga sungguh buruk saat itu. Pertengkaran dengan suami tidak dilakukan di depan anak-anak, tapi ia melampiaskannya pada Smith.

“Ibu hanya berharap suatu hari ketika kau sudah besar kau akan mengerti semua alasannya dan memaafkan ibu,” ungkap Smith yang menggambarkan betapa leganya Sang Ibu ketika mengatakan semua itu setelah memendam bertahun-tahun.

Pembicaraan itu lalu membawa mereka dalam suasana haru. Mereka kemudian menangis dan berpelukan. “Ibu berharap ayah ada di sini, ibu ingin meminta maaf atas apa yang ia ucapkan saat itu. Ibu bilang, ayah itu pria yang baik. Penyesalan terdalamnya adalah tak sempat mengucapkan permintaan maaf itu hingga ayah meninggal dunia,” tulis Smith dalam kisahnya.

Smith kemudian menyadari bahwa pemberian terbesar bukanlah kado atau hiasan yang bisa diletakkan di pohon Natal, tetapi hal-hal seperti pengertian, rahmat, kedamaian, dan pengampunan yang terjadi di momen istimewa tersebut.

(MDP)

Konten di bawah ini disajikan oleh advertiser.
Tim Redaksi Orami tidak terlibat dalam materi konten ini.


FOLLOW US

facebook
twitter
instagram
spotify
tiktok

Orami Articles — Artikel Seputar Parenting, Kesehatan,
Gaya Hidup dan Hiburan

Copyright © 2024 Orami. All rights reserved.

rbb